PERMENDIKBUD PPKS, LIBERALISASI SEKSUAL MENYASAR PERGURUAN TINGGI
Oleh : Hamzinah (Pemerhati Opini Medsos)

Mendikbudristek, Nadiem Makarim menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diteken pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. Pertimbangan disusunnya Permendikbudristek itu antara lain semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk Perguruan Tinggi. Salah satu kasus terbaru yang viral adalah kasus mahasiswi Universitas Riau yang diduga telah dilecehkan oleh dekannya saat bimbingan proposal skripsi. (newsdetik.com).
Menuai Kontra
Namun, dalam Permendikbud tersebut menuai kontra dari berbagai kalangan, diantaranya Mejelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas Islam -tak termasuk PBNU dan Muhammadiyah- yang meminta agar Permendikbud itu dicabut. MOI menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan akan mengubah serta merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus. Diantara poin yang dikritisi dan ditolak oleh MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, tapi persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. (m-kumparan.com).
Kritik senada juga datang dari Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes yang menilai Permendikbud tersebut mengakomodasi pembiaran praktik perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis. Peraturan ini, kata dia, hanya berlaku apabila timbulnya korban akibat paksaan atau melakukan interaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban. Sehingga peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk legalisasi perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan (suka sama suka) di kalangan perguruan tinggi. (merdeka.com).
Muhammadiyyah juga ikut bersuara menentangnya. Mereka meminta agar Menteri Nadiem mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbud tersebut agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Isi Permendikbud yang Menuai Kritik
Bentuk kekerasan seksual berdasarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 yang menuai kritik adalah pasal 5 ayat 2, yaitu :
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
- Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
- Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban. (slideshare.net)
Sinyal Liberalisasi
Penolakan berbagai pihak mengenai Permendikbud tersebut beralasan kuat. Hal yang mendasarinya adalah masalah ‘consent atau persetujuan korban’ yang terdapat dalam pasal 5 dimana pasal tersebut hanya mengatur kekerasan seksual tanpa persetujuan korban. Artinya, jika terjadi tindakan seksual dengan persetujuan korban, tidak termasuk pelanggaran. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa Mendikbud seperti sedang melakukan legalisasi zina dalam aturan tersebut.
Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Nizam mengatakan anggapan tersebut timbul karena salah persepsi atau sudut pandang. Tidak ada satu pun kata dalam Permendikbud ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan’ bukan ‘pelegalan’. Ia menambahkan tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas Pendidikan. Peraturan ini muncul atas keresahan mahasiswa hingga dosen soal kekerasan seksual di perguruan tinggi. (Kompas.com).
Dalam aturan tersebut memang tidak ada kalimat langsung yang menyatakan Kemendikbudristek melegalkan zina. Hanya saja, penyematan kata ‘consent atau persetujuan korban’ yang termuat dalam aturan tersebut adalah pintu liberalisasi seks bebas. Kita ketahui bersama bahwa pintu utama merebaknya zina adalah liberalisasi itu sendiri yang lahir dari akidah sekularisme yang sudah mengakar salah satunya di dunia Pendidikan. Karena itu, meski terdapat aturan yang dibuat untuk mencegah kekerasan seksual di kampus, aturan ini dibuat karena dipandang merugikan secara materi bukan karena kekerasan seksual diharamkan dalam agama Islam. Sekularisme justru memastikan terealisasinya perilaku liberal di tengah-tengah masyarakat. Andai pun aturan itu direvisi dan dicabut, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan berulang selama negeri ini masih menerapkan sistem sekularisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Islam Solusi Kekerasan Seksual dengan Tuntas
Dalam pandangan Islam, apa yang mereka sebut sebagai kekerasan seksual hakikatnya adalah kejahatan seksual, bisa berbentuk perzinahan, LGBT, prostitusi atau pelacuran, pencabulan dan pemerkosaan, dilakukan atas kemauan sendiri atau dipaksa semua merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah SWT. Islam telah menetapkan sanksi yang tegas, seperti hukum rajam bagi para pezina yang sudah menikah dan jilid bagi pezina yang belum menikah, hukuman mati bagi pelaku homoseksual, hukuman rajam hingga mati bagi pemerkosa, dan sanksi lainnya. Semua sanksi ini akan membuat jera orang lain (zawajir) dan menjadi penebus dosa pelakunya (jawabir).
Islam juga menutup semua pintu yang akan menghantarkan terjadinya kekerasan seksual. Sistem pergaulan Islam akan menjaga interaksi laki-laki dengan perempuan. Sistem sosial Islam akan mendidik masyarakat untuk menjaga kehormatan setiap warga negara dengan kewajiban menutup aurat, pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan, meski tetap memberi jalan bagi keduanya untuk saling membantu dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.
Sistem Pendidikan Islam akan mengantarkan setiap muslim menjadi individu yang bertakwa yang menjauhkan diri dari kemaksiatan. Demikian halnya sistem Kesehatan Islam, akan memberikan layanan paripurna kepada para korban sesuai dengan tuntunan Islam. Bersama dengan sistem lainnya yang terintegrasi dalam negara Khilafah Islamiyah, Islam mampu memberantas kekerasan seksual dengan tuntas. Aturan-aturan terperinci yang berasal dari aturan Allah Zat Yang Maha Benar, akan memberi solusi tepat. Wallahu a’lam bish-shawwab.
***